7 Lessons Learned from Seasoned Entrepreneurs

What is one monumental mistake you made as an early entrepreneur? What lesson did you learn from this experience? To help new entrepreneurs manage their businesses effectively, we asked successful…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Manusia dan Impian Kebahagiaan

Apakah yang membuat kita bahagia? Jika pencapaian materi dan status sosial yang membuat kita bahagia, apakah Raffi Ahmad lebih bahagia daripada kita? Jika bukan, apakah sesungguhnya yang membuat kita bahagia? Pertanyaan ini adalah pertanyaan klasik yang menimbulkan banyak perdebatan dan jawaban. Mulai dari para pemikir di yunani kuno, kemudian oleh para Biksu di Gunung Himalaya, para nabi di Semenanjung Arab, Saintis di laboratorium, sampai pada para Selebriti dan Youtuber di iklan-iklan, memberi kita pengertian dan jalan menuju kebahagiaan.

Beberapa orang dalam sejarah sangat ambisius untuk mencari hakikat dari kebahagiaan. Upaya mereka dimaksudkan untuk secara heroik membebaskan umat manusia dari jebakan penderitaan. Salah satu yang paling getol dalam upaya itu adalah Siddharta Gautama (Buddha). Ia adalah seorang pangeran yang sejak lahir dipenuhi kemewahan dan berbagai fasilitas khusu. Tetapi kemudian, suatu waktu, saat keluar pertama kalinya dari istannya, ia tersentuh melihat penderitaan di orang-orang di kanan kirinya. Ia melihat orang sakit, anak yang lapar, orang yang kekurangan gizi, yang dari itu semua, kemudian membuat pandangan hidup dan jalan hidupnya berubah.

Dari kenyataan itu, Ia bertekad mencari apa sebenarnya penyebab manusia menjadi menderita,bagaimana membebaskan diri darinya dan bagaimana mencapai kebahagiaan. Ia kemudian melakukan perenungan di bawahsjatu pohon dan sampai pada satu kesimpulan: bahwa kebahagiaan itu bukan dari pemuasan, atau menahan hawa nafsu, tetapi dari penerimaan apa adanya pada nafsu itu, dan memaknainya sebagai sesuatu tidak bermakna; sesuatu yang sia-sia yang datang dan pergi tanpa bermakna.

Di sisi dunia yang lain, pada ratusan tahun selanjutnya, para pemikir yunani dari kalangan Stoa berdapat bahwa, bukan saja kita tidak menerima secara pasif nafsu-nafsu yang membawa derita, tetapi juga kita bertindak secara aktif membentuk pikiran kita sendiri, mengubah persepsi kita pada satu kejadian.

Misalnya, seorang mahasiswa dapat nilai c. Mungkin reaksi pada umumnya pada sistem simbolik yang ada, dia harus sedih dan kecewa. Tapi, dengan berfikir ala Filosof Stoa, dia mungkin bisa memaknai sendiri kenyataan tersebut. Dia bisa berfikir, kalau mungkin dia masih kurang belajar, atau mungkin dia tidak banyak membaca buku yang berkaitan dengan mata kuliah tersebut sehingga kenyataan ini dapat mendorongnya lebih giat belajar dan seterusnya.

Kemudian pada posisi yang lain, para agamawan dan ideolog tampil dengan posisi mempertegas pemaknaan hidup sebagai landasan kebahagiaan. Menurut mereka, jika kita mampu berperan pada suatu gerakan kosmis kehidupan, maka hidup kita akan bermakna dan membahagiakan. Jalan seperti itu dalam sejarah adalah jalan yang diambil oleh para pahlawan, jihadis agama, dan pasukan tentara. Mereka rela mengorbankan jiwa dan raganya pada sebuah tujuan hidup yang memberinya makna. tujuan hidup itu bisa bersifat religus seperti agama, maupun sekuler seperti ideologi. Misalnya seorang tentara Amerika yang kehilangan tangan dan kakinya akibat perang membela nama Amerika, mungkin lebih bahagia jika dibandingkan dengan kita yang masih sempurna.

Lalu selanjutnya di era modern, para saintis di laboratorium memberi pengertian kebahagiaan yang lebih baru. Mereka menyatakan bahwa kebahagiaan hanya merupakan sensasi-sensasi kimiawi biologis yang muncul akibat adanya stimulus. Jadi kebahagiaan tidak lebih daripada proses kimiawai dalam diri kita yang pemenuhannya sebetulnya bisa kita manipulasi. Dalam arti kita bisa merekayasa pergerakan hormon dan proses kimiawi yang bisa membuat kita bahagia. Jika itu dilakukan, maka kebahagiaan bukan lagi urusan kemampuan kita mengendalikan diri, tetapi lebih merupakan urusan medis belaka. Bukan ustadz atau para ideolog yang memberi kita makna tentang hidup yang membuat kita bahagia, tetapi para dokterlah yang memberi kita hormon yang mewujudkannya.

Tapi sebetulnya, jauh sebelum para saintis mengatakan hal itu, para pengonsumsi opium dan zat adiktif lain sudah menemukan kesimpulan yang demikian. Mereka mengonsumsi opium demi menimbulkan sensasi-sensasi membahagiakan dalam diri mereka. Mereka melakukan intervensi secara sengaja kepada diri mereka untuk mendapatkan kebahagiaan. Hal itu membantu mereka sejenak melupakan derita dan permasalahan-permasalahan hidup.

Setelah membaca uraian di atas kita mungkin bisa menyimpulkan apa itu kebahagiaan. Jika bahagia diartikan sebagai keterbebasan dari emosi dan rangsangan maka kita mungkin setuju dengan para Buddha, Filsuf stoa, dan agamawan. Tapi bagaimana jika kebahagiaan sebetulnya adalah pemuasan kesenangan? Kebahagiaan seperti ini adalah dasar dari bertahannya ekonomi kapitalisme modern. Akan sangat sangat sulit bagi sistem ekonomi kapitalisme untuh bertahan, jika tidak berlandaskan pada pemenuhan kebahagiaan semacam ini, kapitalisme akan mati jika seseorang lebih memilih jalan kebahagiaan Buddha, atau Para nabi.

Sistem kapitalisme adalah sistem sosial ekonomi yang mengutamakan kepemilikan dan perputaran modal di atas dari segalanya. Sistem ini bertumbuh dari akumulasi modal yang dihasilkan dari nilai lebih hasil proses produksi. tetapi selain itu, sistem ini juga tidak akan bertahan jika tidak ada yang membeli hasil produksi. maka dari itu, sistem kapitalisme selain berupaya memperbesar hasil produksi, sistem ini juga berupaya mencari pasar atau bahkan menciptakannya sendiri. Nah, pada proses penciptaan pasar inilah, para kapitalis berupaya menamkan nilai-nilai kebahagiaan yang sesuai dengan tujuan akumulasi modal.
Mereka mencoba menanamkan gambaran dan imajinasi tentang kebahagiaan melalui media-media periklanan. Gambaran itu sedemikian rupa dipoles agar menghipnotis para penontonnya. Mereka terus melakukan upaya itu agar akumulasi modal tidak berhenti. Dan sejarah pun membuktikan bahwa mereka berhasil melakukannya. Hingga kemudian menciptakan apa yang disebut sebagai masyarakat konsumsi. Masyarakat konsumsi adalah masyarakat yang mengartikan kebahagiaan sebagai proses komsumsi belaka. Jika kita ingin bahagia, “maka komsumsi lah sebanyak-banyaknya sesuatu, belilah barang-barang baru, nikmatilah hidupmu dengan fasilitas-fasilitas baru. Jika kau melakukannya, kau akan bahagia”.

Itulah konstruksi kapitalisme tentang kebahagiaan. Itu adalah tolak ukur kebahagiaan paling mutakhir. Mungkin beberapa orang masih memahami ajaran Buddha atau membaca buku filsafat stoa, tetapi secara dominan, doktrin untuk memenuhi hasrat dengan mengonsumsi barang terbaru secara terus menerus sudah menjadi agama baru. Agama baru ini dikhotbakan oleh para selebritis dan youtubers. Mereka mengajarkan agama ini setiap saat dan dimana-mana.

Jika kebahagiaan memang hanya pemuasan nafsu dan pemilikan materi seperti dalam konstruksi kapitalisme, berarti lebih banyak orang yang tidak bahagia. Mayoritas orang saat ini berada pada jurang kemiskinan dan Tidak mampu membeli semua materi dan memenuhi hasrat konsumsinya. Mayoritas orang yang mengalmi ini merasakan dua hal secara bersamaan. Pertama, mereka merasakan kekerasan simbolik makna kebahagiaan dari kelas atas. Kedua, menerima nasib atas ketidakadilan distribusi kekayaan. Maka kebahagiaan itu sendiri menjadi tidak adil.

Namun jika tidak begitu, Lantas apakah yang membuat kita sesungguhnya bahagia?

Atau jangan-jangan kebahagiaan itu sendiri adalah sesuatu yang tidak pernah selesai diartikan, ia menjadi sesuatu yang mungkin terus kita pertanyakan, sepanjang hidup dan sepanjang sejarah.

Rujukan Bacaan :

Manampiring, Henry. 2019. Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini. PT Kompas Media Nusantara: Jakarta Selatan.

Harari, Yuval Noah. 2018. Homo Deus: A brie f History of Tomorrow. PT Pustaka Alvabet: Tangerang Selatan.

Harari, Yuval Noah. 2017. Sapiens: A Brief History of Humankind. PT Pustaka Alvabet: Tangerang Selatan.

Jessua, Claude. 2015. Kapitalisme, Seri Panduan. Jalasutra: Yogyakarta.

Harvei, David. 2010. Imprealisme Baru: Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer. Resist Book: Magelang.

Add a comment

Related posts:

Surviving our Hearts

Wrapping up the day in the gardens on our small farm, I came to the stack of wooden boxes that house and conceal traps for varments — mice, voles and such. I needed to put them away, but not this…

Coping with compassion

When your child suffers from migraine, being a mother or father can get even more challenging. That's when self-care and compassion are essential.

Is Running Healthy?

Some years ago an acquaintance told me that after researching the effects of long-distance running, he had come to the conclusion that running marathons were not healthy. He stated he would therefore…