Ela sempre vem

Ela fica um tempo sem aparecer.. “Ela sempre vem” is published by Marcia Pinheiro Ohlson.

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Pesan yang terlewat

#jurnal ke-2

Perjalanan pulang kali ini tidak seperti biasanya, sepanjang jalan rasanya kelabu. Kalau pulang biasanya menjemput sesuatu yang bahagia, kali ini tidak. Pulang saya menjenguk dan melepas salah satu inspirasi hidup saya.

Hari ini juga, untuk pertama kalinya saya melihat ayah saya tangisnya pecah. Figur yang selama ini saya lihat kuat sekali dalam kondisi apapun, hari ini beliau kelelahan. Bagi ayah saya mungkin tidak pernah ada hari hari berat, tapi pengecualian bagi hari ini.

Sore ini, setelah serangkaian acara beres, saya memilih untuk menahan ayah saya agar duduk lebih lama di pusara kakek saya. Semua orang beranjak pergi, hingga akhirnya menyisakan saya dan ayah saya yang lelah.

Tangan beliau mencoba mengelus pusara ini, lantas saya pegang tangannya lalu saya tahan bahunya agar tidak terlalu rendah, saya hanya tidak tahan melihat beliau berlarut larut.

Satu hal yang dari dulu saya tidak suka adalah perpisahan. Mau apapun wujudnya, baik atau buruk caranya, berat rasanya kalau bersinggungan dengan rasa kehilangan. Terlebih ketika ada sesuatu yang menjadi momok penyesalan kita atas keterlambatan. Ada pesan yang tak sampai, ada pelukan yang tak berbalas, ada tawa yang tak sempat di dengar.

Persis ayah saya, saya juga merasakan bagaimana kehilangannya. Setahun kebelakang saya habiskan dengan merawat kakek saya, mulai dari subuh sampai menjelang beliau tidur habis isya. Saya sampai hapal apa yang mau dimakan waktu sarapan, mau makan siang jenis apa, apa kopi kesukaan beliau kalau malam tiba. Berkali-kali saya antar beliau ke UGD karena kondisi yang tiba-tiba menurun. Setahun saya merasakan bagaimana bakti saya nanti untuk orang tua saat masa senja nya tiba.

Tapi ayah saya kemudian berdiri, sambil menepuk pundak saya, suaranya lemah, tersendat, "hidup harus tetap hidup, sedihnya seperlunya" dan memang seperti itu alurnya. Pahlawan juga kemudian akan gugur, bunga bunga juga akan layu, yang kita miliki juga ada saatnya untuk pergi.

Sore itu saya habiskan dengan mengelus pundak ayah saya. Tangisnya berganti jadi tarikan napas yang tersengal, saya tau beliau sangat kehilangan, terlebih beliau satu satunya anak laki laki yang sangat disayang kakek saya. Tanggung jawabnya kian besar setelah kepergian ayahnya, dan saya sadar di kemudian hari saya akan merasakan hal yang sama. Belajar menghargai hidup, belajar menghormati nasihat, belajar melepas sesuatu dengan tulus, belajar memiliki bahu yang kuat ketika berduka.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk kakek saya, semoga nasihatnya selama ini membantu saya untuk bertanggung jawab pada masa depan.
Untuk keluarga yang ditinggalkan semoga semakin diberi kekuatan untuk terus melanjutkan hidup.

Kemudian untuk ayah saya, semoga selalu menjadi ayah yang kuat, walaupun sudah tidak berjalan berdampingan dengan ayahnya.

Add a comment

Related posts:

Strings

About that cold shoulder, I like to give you. To be completely honest, I’m shameless. I enjoy causing you pain. I watch with care, to see you squirm. Then I do it again! It really isn’t my fault. See…

Why is communication within the company important?

Communication was always the best approach to solve any issue in various areas of life. It concerns any business too. However, through the excess number of processes, it becomes more difficult to…